Senin, 19 Maret 2018

Pendidikan Karakter



Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
A.    Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap
1.      Definisi Nilai
Menurut Spranger nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu (Sunaryo Kartadinata, 1988).
Dengan demikian nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Horrocks, 1976).
Spranger (Edwards, 1987) menggolongkan nilai itu ke dalam enam jenis, yaitu:
a.      Nilai teori atau nilai keilmuan
b.      Nilai ekonomi
c.       Nilai sosial atau nilai solidaritas
d.     Nilai agama
e.      Nilai seni
f.        Nilai politik atau nilai kuasa
Nilai keilmuan mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional. Nilai agama yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan. Nilai ekonomi adalah suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan ada atau tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya itu. Nilai seni yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan rasa keindahan yang terlepas dari berbagai pertimbangan material. Nilai solidaritas adalah suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri. Nilai kuasa yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Dari enam nilai tersebut yang dominan pada masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai agama, dan nilai seni. Sedangkan pada masyarakat modern nilai yang dominan adalah nilai keilmuan, nilai ekonomi, dan nilai kuasa.
2.      Definisi Moral
Istilah moral berasal dari kata latin yaitu mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986). Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus di patuhi (Shaffer, 1979). Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik/buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial (Rogers, 1985). Moralitas merupakan aspek kepribadian yang di perlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang.  Perilaku moral di perlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Berdasarkan penelitiannya itu,  Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a.      Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.
b.      Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c.       Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Dalam konteks perkembangan moral ini, ada sejumlah tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal, yaitu yang dikemukakan oleh John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, dan Lawrence Kohlberg sendiri (1995). Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan pandangan masing-masing adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini.
John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget (Kohlberg, 1995) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral.
a.      Tahap prakonvensional
Ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
b.      Tahap konvensional
Ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
c.       Tahap pascakonvensional
Ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal ke seluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlberg (1995), yaitu sebagai berikut:
a.      Tingkat prakonvensional: aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativis-instrumental.
b.      Tingkat konvensional: aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak manis” serta orientasi hukum dan ketertiban.
c.       Tingkat pascakonvensional: aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Tingkat ini memiliki dua tahap yaitu orientasi kontrak sosial legalitas dan orientasi prinsip etika universal.
Fase Perkembangan Moral
Bila moralitas yang sesungguhnya harus dicapai, perkembangan moral harus terjadi dalam dua fase yang jelas: pertama, perkembangan perilaku moral dan kedua, perkembangan konsep moral. Pengetahuan moral tidak menjamin tingkah laku moral karena perilaku dimotivasi oleh faktor yang lain dari pengetahuan. Tekanan sosial, bagaimana perasaan anak tentang dirinya, bagaimana mereka diperlakukan oleh anggota keluarga dan teman sebaya, keinginan pada saat itu dan banyak faktor lain mempengaruhi bagaimana anak akan bersikap bila suatu pilihan harus diambil.
Perkembangan Perilaku Moral
Anak dapat belajar untuk berperilaku sesuai dengan cara yang disetujui melalui cara coba-ralat, melalui pendidikan langsung, atau melalui identifikasi. Di antara ketiganya, pendidikan langsung dan identifikasi bukan saja merupakan metode terbaik, tetapi juga yang paling luas digunakan.
Teori Pendidikan Moral
Pendidikan moral merupakan bagian lingkungan yang berpengaruh, dirancang secara sengaja untuk mengembangkan dan mengubah cara berpikir dan bertindak dalam situasi moral. Dinyatakan bahwa segala yang diprogramkan sekolah bertujuan untuk membantu anak berpikir tentang isu-isu yang benar dan salah, baik dan buruk, mengharapkan perbaikan sosial, serta membantu siswa agar mampu berperilaku berdasarkan nilai-nilai moral.
Pernyataan diatas memperkuat dan mendukung pandangan Plato (dalam Kohlberg, 1971) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia cerdas dan baik.
Tujuan Pendidikan Moral
Frankena mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut:
1.      Mengusahakan suatu pemahaman “pandangan moral” ataupun cara-cara moral dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, legalitas, atau pandangan tentang kebijaksanaan.
2.      Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral dalam menentapkan suatu keputusan.
3.      Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau mengadopsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktikkan.
4.      Mengembangkan suatu kecendrungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.
5.      Meningkatkan pencapaian rekleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-prinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.
Pendidikan moral tradisional mengacu pada tujuan nomor 3 dan 4, sedangkan pendidikan moral metode diskusi dilema moral (rasional) mengacu pada tujuan nomor 1 dan 5.

3.      Definisi Sikap
Fishbein (1975) mendefinisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan, dan memengaruhi perilaku. Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecendrungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang.
Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penaksiran dan penilaian sikap. Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
a.      Skala Likert
b.      Skala Thurstone

B.     Hubungan Antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau kecendrungan individu untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya.
Bagi Sigmund Freud (Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Nilai dan moral itu menyatu dalam salah satu struktur kepribadiannya, yang dikenal dengan super ego yang merupakan sumber moral. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga yaitu:
1.      Id
2.      Ego
3.      Super Ego

C.    Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berpikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
D.    Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai, moral, dan sikap adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang di pandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya.Selanjutnya dalam berinteraksi dalam lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral, dan sikap.Dalam konteks ini lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, dan sikap individu (Horrocks, 1976; Gunarsa, 1988).
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
E.     Perbedaan Individual dalam Nilai, Moral, dan Sikap
Sesungguhnya, sistem nilai, moral, dan sikap bukan hanya dipengaruhi oleh kelompok masyarakat tertentu, melainkan dalam suatu keluarga pun biasanya memiliki dan menjunjung tinggi sistem nilai, moral, dan sikap yang diyakini dan dipegang teguh oleh anggota keluarga. Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta di nilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu di nilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang di pandang bernilai dan bermoral serta di nilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu di nilai positif oleh keluarga yang lain.
F.      Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Serta Implikasinya bagi Pendidikan
Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah. Akhir-akhir ini, karena semakin maraknya perilaku remaja yang kurang menjunjung tinggi nilai-nilai, moral, dan sikap positif maka diberlakukan lagi pendidikan budi pekerti di sekolah.