Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
A.
Pengertian
Nilai, Moral, dan Sikap
1.
Definisi
Nilai
Menurut Spranger nilai diartikan sebagai suatu
tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih
alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu (Sunaryo Kartadinata, 1988).
Dengan demikian nilai merupakan sesuatu yang
diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan
sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan
mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Horrocks,
1976).
Spranger (Edwards, 1987) menggolongkan nilai
itu ke dalam enam jenis, yaitu:
a.
Nilai
teori atau nilai keilmuan
b.
Nilai
ekonomi
c.
Nilai
sosial atau nilai solidaritas
d.
Nilai
agama
e.
Nilai
seni
f.
Nilai
politik atau nilai kuasa
Nilai keilmuan mendasari perbuatan seseorang
atau sekelompok orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional.
Nilai agama yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar
pertimbangan kepercayaan. Nilai ekonomi adalah suatu nilai yang mendasari
perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan ada atau
tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya itu. Nilai seni
yaitu suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas
dasar pertimbangan rasa keindahan yang terlepas dari berbagai pertimbangan
material. Nilai solidaritas adalah suatu nilai yang mendasari perbuatan
seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul
terhadap dirinya sendiri. Nilai kuasa yaitu suatu nilai yang mendasari
perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya
untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Dari enam nilai tersebut yang dominan pada
masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai agama, dan nilai seni.
Sedangkan pada masyarakat modern nilai yang dominan adalah nilai keilmuan,
nilai ekonomi, dan nilai kuasa.
2.
Definisi
Moral
Istilah moral berasal dari kata latin yaitu
mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan
(Gunarsa, 1986). Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai
macam perilaku yang harus di patuhi (Shaffer, 1979). Moral merupakan kaidah
norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan
kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik/buruk yang
ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai
anggota sosial (Rogers, 1985). Moralitas merupakan aspek kepribadian yang di
perlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis,
adil, dan seimbang. Perilaku moral di
perlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban,
dan keharmonisan.
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya
dengan pengkajian perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995).
Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg
(1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a.
Penilaian
dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah
soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif
terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat
aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan
segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap
sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.
b.
Terdapat
sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus
diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
c.
Membenarkan
gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai
tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Dalam konteks perkembangan moral ini, ada
sejumlah tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal, yaitu yang
dikemukakan oleh John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, dan
Lawrence Kohlberg sendiri (1995). Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan
pandangan masing-masing adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini.
John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean
Piaget (Kohlberg, 1995) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral.
a.
Tahap
prakonvensional
Ditandai
bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
b.
Tahap
konvensional
Ditandai
dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
c.
Tahap
pascakonvensional
Ditandai
dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.
Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang
sangat dikenal ke seluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E.
Kohlberg (1995), yaitu sebagai berikut:
a.
Tingkat
prakonvensional: aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan
oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik berupa
sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat ini memiliki dua tahap, yaitu
orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativis-instrumental.
b.
Tingkat
konvensional: aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar
menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tingkat ini memiliki dua
tahap, yaitu orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak
manis” serta orientasi hukum dan ketertiban.
c.
Tingkat
pascakonvensional: aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara
jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan
dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang
pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok
tersebut. Tingkat ini memiliki dua tahap yaitu orientasi kontrak sosial
legalitas dan orientasi prinsip etika universal.
Fase Perkembangan Moral
Bila moralitas yang sesungguhnya harus dicapai,
perkembangan moral harus terjadi dalam dua fase yang jelas: pertama, perkembangan
perilaku moral dan kedua, perkembangan konsep moral. Pengetahuan moral
tidak menjamin tingkah laku moral karena perilaku dimotivasi oleh faktor yang
lain dari pengetahuan. Tekanan sosial, bagaimana perasaan anak tentang dirinya,
bagaimana mereka diperlakukan oleh anggota keluarga dan teman sebaya, keinginan
pada saat itu dan banyak faktor lain mempengaruhi bagaimana anak akan bersikap
bila suatu pilihan harus diambil.
Perkembangan Perilaku Moral
Anak dapat belajar untuk berperilaku sesuai
dengan cara yang disetujui melalui cara coba-ralat, melalui pendidikan
langsung, atau melalui identifikasi. Di antara ketiganya, pendidikan langsung
dan identifikasi bukan saja merupakan metode terbaik, tetapi juga yang paling
luas digunakan.
Teori Pendidikan Moral
Pendidikan moral merupakan bagian lingkungan
yang berpengaruh, dirancang secara sengaja untuk mengembangkan dan mengubah
cara berpikir dan bertindak dalam situasi moral. Dinyatakan bahwa segala yang
diprogramkan sekolah bertujuan untuk membantu anak berpikir tentang isu-isu
yang benar dan salah, baik dan buruk, mengharapkan perbaikan sosial, serta
membantu siswa agar mampu berperilaku berdasarkan nilai-nilai moral.
Pernyataan diatas memperkuat dan mendukung
pandangan Plato (dalam Kohlberg, 1971) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah menjadikan manusia cerdas dan baik.
Tujuan Pendidikan Moral
Frankena mengemukakan lima tujuan pendidikan
moral sebagai berikut:
1.
Mengusahakan
suatu pemahaman “pandangan moral” ataupun cara-cara moral dalam
mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya
dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, legalitas, atau pandangan tentang
kebijaksanaan.
2.
Membantu
mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian satu atau beberapa prinsip umum
yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau landasan untuk
pertimbangan moral dalam menentapkan suatu keputusan.
3.
Membantu
mengembangkan kepercayaan pada dan atau mengadopsi norma-norma konkret,
nilai-nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada pendidikan moral tradisional yang
selama ini dipraktikkan.
4.
Mengembangkan
suatu kecendrungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.
5.
Meningkatkan
pencapaian rekleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental spiritual,
meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik terhadap
ide-ide dan prinsip-prinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.
Pendidikan moral tradisional mengacu pada
tujuan nomor 3 dan 4, sedangkan pendidikan moral metode diskusi dilema moral
(rasional) mengacu pada tujuan nomor 1 dan 5.
3.
Definisi
Sikap
Fishbein (1975) mendefinisikan sikap adalah
predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten
terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari,
mengarahkan, dan memengaruhi perilaku. Sikap merupakan salah satu aspek
psikologis individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecendrungan untuk
berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang.
Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi,
baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi.
Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu,
kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penaksiran
dan penilaian sikap. Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat
digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
a.
Skala
Likert
b.
Skala
Thurstone
B.
Hubungan
Antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi
individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya
dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau
kecendrungan individu untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan
objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya.
Bagi Sigmund Freud (Corey, 1989), yang telah
menjelaskan melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap
adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Nilai dan moral itu menyatu
dalam salah satu struktur kepribadiannya, yang dikenal dengan super ego yang
merupakan sumber moral. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian
manusia itu terdiri dari tiga yaitu:
1.
Id
2.
Ego
3.
Super
Ego
C.
Karakteristik
Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati
diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan
jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam
pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol
berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya
tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai
pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan
moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai
mencapai tahapan berpikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir
abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka
pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada
waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar
hidup mereka.
D.
Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai, moral, dan sikap adalah aspek-aspek yang
berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dan
pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki
nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang
di pandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya.Selanjutnya dalam
berinteraksi dalam lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek
kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral, dan sikap.Dalam konteks ini
lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai,
moral, dan sikap individu (Horrocks, 1976; Gunarsa, 1988).
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis,
sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola
kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral,
dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
E.
Perbedaan
Individual dalam Nilai, Moral, dan Sikap
Sesungguhnya, sistem nilai, moral, dan sikap
bukan hanya dipengaruhi oleh kelompok masyarakat tertentu, melainkan dalam
suatu keluarga pun biasanya memiliki dan menjunjung tinggi sistem nilai, moral,
dan sikap yang diyakini dan dipegang teguh oleh anggota keluarga. Sesuatu yang
dipandang bernilai dan bermoral serta di nilai positif oleh suatu kelompok
masyarakat sosial tertentu belum tentu di nilai positif oleh kelompok
masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang di pandang bernilai dan bermoral
serta di nilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu di nilai
positif oleh keluarga yang lain.
F.
Upaya
Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Serta Implikasinya bagi Pendidikan
Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga
diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah. Akhir-akhir
ini, karena semakin maraknya perilaku remaja yang kurang menjunjung tinggi
nilai-nilai, moral, dan sikap positif maka diberlakukan lagi pendidikan budi
pekerti di sekolah.